FRAMING FEODALISME DI PESANTREN: MENAKAR ULANG BUDAYA TA’DZIM MELALUI KACAMATA TA’LIM MUTA’ALLIM
Oleh: Muhammad Khafid Zulfahmi Zein, M.Pd
Pesantren selalu memiliki cara tersendri untuk membuat hati tenang. Suara gemericik air wudhu dan lantunan ayat suci dari masjid yang selalu di ulang-ulang oleh para santri. Pembelajaran di kelas yang silih berganti sejak pagi hingga malam bahkan terkadang ada kajian tambahan. Seorang Kyai duduk bersila di depan dampar kecil dengan kitab kuning yang terbuka di tangannya, para santri menunduk sambil mendengarkan dengan khidmat setiap penjelasannya. Jika Kyai berjalan keluar majlis para santri berduyun membukakan jalan atau jika beruntung dapat bersalaman dengan tangan yang selalu lekat dengan kitab dan Alquran. Di situlah letak kemuliaan ilmu bagi pembawanya.
Namun, akhir-akhir ini suasana sakral tersebut justru menjadi bahan sorotan di sebuah tayangan televisi nasional. Sampai saat essay ini dibuat, pihak televisi sudah sowan dan meminta maaf ke pondok yang diguakan beberapa footage kegiatan santri dalam acara tersebut. Di sini penulis hanya menyampaikan betapa berbedanya sudut pandang psikologis antara santri dan non-santri, atau dalam tanda kutip mereka yang sejatinya tidak suka dengan pesantren.
Dalam acara tersebut, hubungan kyai dan santri digambarkan dengan bingkai yang keliru: seolah-olah pesantren adalah tempat bersemainya feodalisme, tempat kyai dianggap “tuan” dan santri hanyalah “abdi”. Tayangan semacam ini memancing tawa sebagian penonton, tapi menyisakan getir di hati para pecinta pesantren.
Apakah benar di pesantren menerapkan sistem feodal?, atau bahasa media yang gagal memahami spiritual kehidupan pesantren. Artikel seperti ini sebanrnya sudah pernah kami tulis di edisi 2 bulan lalu, tapi untuk kali ini penulis ingin melihat dengan kaca mata kitab ta’lim muta’allim yang pasti dipelajari umumnya pesantren di Indonesia, walaupun konteks pembahasan kali ini sangat singkat dan perlu pendalaman dari berbagai sumber.
Framing media modern sering kali dibangun dari sudut pandang rasionalistik yakni segala sesuatu diukur dengan standar kebebasan individual dan kesetaraan sosial dalam kacamata Barat. Di bawah pandangan ini, ketika seorang santri mencium tangan kyai, berdiri menyambut kedatangannya, atau berbicara dengan penuh hormat, semua itu dianggap simbol ketundukan. Mereka lupa bahwa di dunia pesantren, tindakan-tindakan itu bukan bentuk perbudakan, tapi wujud cinta, penghormatan, dan kesadaran spiritual akan posisi ilmu.
Dalam kebudayaan pesantren, penghormatan terhadap guru tidak lahir dari relasi kuasa, melainkan dari kesadaran epistemic, sebuah kesadaran bahwa ilmu tidak akan tumbuh tanpa adab. Dalam pandangan Islam klasik, adab adalah fondasi dari seluruh bangunan ilmu. Di sinilah pentingnya membaca fenomena ini melalui kacamata Ta’lim al-Muta’allim, karya monumental Imam Az-Zarnuji yang selama ratusan tahun menjadi pedoman etika belajar di dunia Islam, terutama pesantren.
Dalam muqaddimah kitab ta’lim muta’allim Syeikh Az Zarnuji menulis bahwa salah satu penyebab hilangnya ilmu adalah hilangnya adab terhadap guru. Dalam pandangan beliau guru bukan hanya sebagai pengajar, melainkan orang tua atau bahkan pewaris nabi. Karena itu menghormati guru sama dengan menghormati ilmu yang dibawanya, dan menghormati ilmu berarti menghormati sang pemberi ilmu yaitu Allah SWT.
Beliau berkata:
“Barang siapa tidak menghormati gurunya, maka ia tidak akan memperoleh keberkahan ilmu.”
Konsep barakah (keberkahan) inilah yang sering terdapat perbedaan faham dengan dunia modern. Bagi seorang santri, keberhasilan belajar tidak hanya diukur dari seberapa banyak pengetahuan yang diserap, tapi dari sejauh mana ilmu itu membawa manfaat dan ketenangan hati. Maka, ketika santri menundukkan kepala di hadapan kyai, ia sedang menundukkan egonya di hadapan sumber hikmah.
Dalam tradisi pesantren, ta’dzim bukanlah bentuk subordinasi sosial, tetapi ekspresi spiritual yang menyadari keterbatasan diri di hadapan kebenaran. Ia adalah bentuk pembebasan dari kesombongan intelektual yang sering menjadi penyakit masyarakat modern. Lalu bagaimana dengan feodalisme yang digambarkan oleh media?
Istilah “feodalisme” berasal dari sejarah sosial Eropa abad pertengahan. Ia menggambarkan sistem politik ekonomi di mana para bangsawan menguasai tanah dan rakyat kecil menjadi budak atau pengabdi. Relasi itu dibangun atas dasar kekuasaan, kepemilikan, dan ketimpangan. Zaman dimana muncul para proletary dan borjuis yang hingga kini semakin melebar pengertian dan praktiknya.
Sementara itu, hubungan kyai dan santri sama sekali tidak berlandaskan kepemilikan. Tidak ada kyai yang “memiliki” santri tapi justru sebaliknya, kyai berkhidmat untuk mendidik, membimbing, dan mendoakan santri agar menjadi manusia merdeka bahkan jika dihitung dengan kalkulator bisnis, harusnya Kyai sudah bangkrut, apalagi pesantren yang justru menggratiskan biaya untuk santrinya. Sehingga dalam kitab ta’lim terdapat bab tentang memilih guru, karena pada dasarnya yang berkewajiban mencari guru adalah murid, yang membutuhkan ilmu adalah murid, bukan Kyai yang mondar mandir menawarkan pesantren.
Artinya, menggunakan istilah “feodalisme” untuk menggambarkan hubungan kyai-santri adalah kesalahan epistemologis. Ia seperti menilai ibadah dengan logika bisnis, atau menafsirkan cinta dengan rumus ekonomi. Pesantren tidak bisa dibaca dengan lensa duniawi semata, ia punya tata nilai sendiri, yang bersumber dari wahyu dan tradisi ilmiah Islam.
Dalam kitab ta’lim juga dijelaskan dengan gambling bagaimana rentetan seorang murid dalam menyelami samudra ilmu, bahkan tidak sedikit qoul yang termaktub di dalam kitab oleh beberapa syeikh namun tidak mencatut namanya langsung, tapi justru mengatasnamakan gurunya, atau mendapat nasehat dari gurunya. Sehingga tawadu’ ilmu sudah ada sejak zaman dulu, bukan lahir beriringan dengan berbagai teori sosial yang akan terus berkembang.
Kyai, di sisi lain, tidak pernah memposisikan dirinya sebagai penguasa. Ia adalah murabbi ruh atau pembimbing jiwa. Ia tidak hanya mengajar, tetapi menanamkan nilai, mencontohkan amal, dan menghidupkan semangat ibadah. Itulah sebabnya, dalam banyak pesantren, hubungan antara santri dan kyai tidak berakhir ketika masa belajar selesai. Santri akan tetap sowan, mengirim doa, dan menjaga silaturahmi. Ini bukan ketergantungan, tapi ittiba’, mengikuti jejak orang saleh sebagaimana para sahabat mengikuti Rasulullah SAW.
Ada guyonan dan meme di media sosial,
Membungkuk ke pacar dibilang romantic, namun membungkuk ke Kyai dibilang feodalis
Ngasih hadiah ke pacar dibilang so sweet, tapi ngasih hadiah ke Kyai dibilang nyari duit
Effort ke pacar dibilang perjuangan, kalau effort ke Kyai dibilang perbudakan.
Nah… artinya kan memang “manut” itu sama-sama kondisi psikologis. Ketika kita butuh terhadap seseorang, entah karena spiritual atau kebutuhan duniawi, kita pasti akan patuh kepada orang yang memrintah kita. Paling buruknya jika tidak suka dengan yang menyuruh kita, tetap kita tidak berani menunjukkan itu di depannya, karena takut kehilangan sesuatu yang kita butuhkan.
Media modern perlu belajar mengenali bahasa nilai pesantren, bukan hanya bahasa simbol. Ketika kamera menyorot santri yang bersimpuh di hadapan kyai, seharusnya mereka melihat itu sebagai manifestasi cinta dan ketulusan, bukan ketundukan sosial.
Feodalisme mematikan kemerdekaan manusia, sementara ta’dzim justru melahirkan kemerdekaan batin. Feodalisme menumbuhkan ketakutan, sedangkan ta’dzim menumbuhkan kasih dan keikhlasan.
Dalam kerangka Ta’lim al-Muta’allim, hubungan kyai dan santri adalah relasi profetik. Guru sebagai pewaris ilmu kenabian, santri sebagai pencari cahaya wahyu. Relasi ini tidak bisa diterjemahkan dalam logika dunia sekuler, karena di dalamnya terkandung rahasia ilahi, rahasia tentang bagaimana ilmu menjadi cahaya dan adab menjadi jalannya.
Pesantren memang tidak sempurna. Ia adalah ruang manusiawi tempat belajar dan bertumbuh. Ia adalah lembaga yang terus berproses dan berusaha menyesuaikan kebutuhan dinamis manusia. Tapi di balik kesederhanaannya, ia menyimpan nilai luhur yang sudah jarang dimengerti dunia modern, sebuah nilai bahwa ilmu butuh adab, dan tiada adab kecuali harus dibarengi dengan ilmu.
Barangkali dunia perlu belajar kembali kepada pesantren, bukan untuk mengagungkan manusia, tapi untuk belajar bagaimana menghormati ilmu dan pembawanya. Sebagaimana pesan Imam Az-Zarnuji yang begitu dalam:
أَنْ يَجْعَلَ النَّاسَ كُلَّهُمْ خُدَّمَهُ الْعِلْمُ مِنْ شَرْطِهِ لِمَنْ خَدَمَه
Di antara syarat ilmu untuk pengabdinya, menjadikan seluruh manusia mengabdi kepadanya.
Maka, sebelum menilai pesantren dengan kacamata feodalisme, marilah kita belajar memahami pesantren dengan hati. Sebab pesantren juga menjadi pondasi bagi berdirinya bangsa ini, nilai-nilai di pesantren juga menjadi sumbu pertama bagi bahan bakar peraturan di negeri ini. Mari kita jaga marwah pesantren, agar bangsa ini tetap bermoral dan memiliki etika dalam kehidupan di hari-hari selanjutnya.
