Dari Serambi Pesantren Hingga Negeri Impian
Dari Serambi Pesantren Hingga Negeri Impian:
JEJAK LANGKAH MENUJU UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)
By Anindya

“Santri itu kolot.”
Begitulah cap yang kadang dilemparkan seenaknya. Seolah kami hanya paham kitab kuning, hafalan, dan dunia yang terbatas pada pagar pesantren. Padahal, di balik sarung lusuh dan jadwal padat, kami menyimpan sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa: mimpi yang membara.
Tulisan ini bukan sekadar pembelaan, tapi kesaksian. Karena di pesantren, kami tidak hanya belajar ilmu agama tetapi kami belajar hidup. Kami dilatih berpikir kritis, berbicara dengan adab, bertahan di tengah tekanan, dan berdiri tegak di atas nilai-nilai kejujuran dan kerja keras.
Perjalanan saya dimulai di Pondok Modern Darul Hikmah. Awalnya, dunia luar terasa jauh, tergantikan oleh suara adzan, lantunan doa, dan rutinitas yang kadang menguras tenaga. Saya sempat merasa asing. Tapi perlahan, hari demi hari, saya mulai mengenal arti sabar, arti mandiri, dan arti bahwa perjuangan bukan sekadar kata-kata. Bangun sebelum fajar untuk tahajud, menghafal di sela jadwal padat, mencuci baju sendiri, hingga berbagi satu mie instan untuk dua orang semuanya jadi bagian dari pelajaran yang tak ditemukan di ruang kelas biasa. Bukan hanya otak yang ditempa, tapi juga hati dan karakter.
Saat dipercaya menjadi pengurus قِسمُ الفُنُون saya pikir tugas saya hanya seputar merancang acara atau bikin dekorasi. Tapi ternyata lebih dari itu saya harus jadi “kakak” bagi adik-adik yang sedang belajar mengekspresikan diri. Saya belajar bahwa memimpin bukan tentang memberi perintah, tapi tentang turun langsung dan ikut repot. Tapi dari situlah saya sadar: kepemimpinan adalah latihan sabar dan keikhlasan yang tiada henti.
Saya juga ikut aktif di berbagai lomba seni, khususnya kaligrafi. Tapi jujur: tidak pernah sekalipun menang. Nggak masuk nominasi pun kadang. Tapi anehnya, saya tidak menyerah.
Jalan saya menuju kampus impian bukan jalan tol mulus beraspal halus. Kalau bisa dibilang, itu jalan berkerikil, licin, kadang bahkan tanpa penerangan. Saya pernah gagal………… Bukan sekali. Saya selalu menargetkan kampus-kampus kesehatan ternama. Bukan karena ikut-ikutan tren, tapi karena saya ingin menjadi seorang tenaga kesehatan. Tapi………jalan menuju sana penuh rintangan yang sering tak saya ceritakan pada siapa-siapa. Tidak ada bimbingan belajar mahal, tidak ada akses cepat internet di pondok. Yang ada hanya Al-Qur’an di bawah bantal, mahfudzat di dinding kamar, dan semangat yang tak pernah padam.
Bukan karena saya tak mampu secara akademik. Tes demi tes saya ikuti, dan Alhamdulillah lulus di salah satu kampus di Surabaya dengan jurusan keperawatan gigi. Tapi setelahnya, tembok tinggi itu datang lagi—biaya.
Formulir mahal, registrasi awal butuh deposit, biaya hidup di kota besar. Sementara saya sadar, orang tua sudah jungkir balik untuk kebutuhan harian. Saya tahu diri. Maka saya telan sendiri kenyataan itu: lulus tes, tapi tak bisa lanjut.
Rasa kecewa itu nyata. Perih. Tapi saya tidak tenggelam dalam itu semua. Karena pesantren mengajarkan saya satu hal yang selalu saya pegang erat: العِلْمُ بِلاَ عَمَلٍ كَالشَّجَرِ بِلاَ ثَمَرٍ ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Saya mulai berpikir ulang. Mungkin jalan saya bukan di tempat yang mahal, tapi di tempat yang tepat. Saya daftar lagi. Saya pelajari strategi baru. Saya buka opsi-opsi yang sebelumnya saya anggap kecil, tapi ternyata justru lebih besar dalam keberkahan.
Dan akhirnya, setelah melewati musim kecewa yang panjang, saya berhasil diterima di UNIVERSITAS NEGERI MALANG dengan jalur prestasi di jurusan BIOTEKNOLOGI. Saat pengumuman itu keluar, saya hanya bisa menangis. Bukan karena saya akhirnya “berhasil”, tapi karena saya bertahan, saat alasan untuk menyerah lebih banyak daripada alasan untuk lanjut.
Dan di titik itulah, setelah banyak jalan saya coba, akhirnya Allah memberi satu jalan terbaik: saya lolos jalur prestasi di Universitas Negeri Malang. Bukan lewat jalur reguler, bukan lewat jalur mahal tapi lewat jalur yang saya bangun sendiri dari tetesan keringat di pesantren, dari lembar-lembar karya, dari panggung lomba yang sedikit saya menangkan.
Dan tanpa saya sadari, semua pengalaman itu mempersiapkan saya untuk dunia yang lebih luas. Saat di kampus saya menggeluti perlombaan khath atau kaligrafi, esai, poster sampai video kreatif lainnya, saya terbiasa tampil dengan hati, bukan ambisi. Saya terbiasa kalah, tapi tak pernah menyerah. Saya terbiasa kerja dalam diam, dan tetap tersenyum meski hasilnya biasa-biasa saja.
Karena buat saya, lomba bukan tentang juara—tapi tentang berani tampil meski tahu bisa kalah. Dan itu yang membentuk mental saya sampai sekarang. Saya terbiasa bekerja keras, meski hasilnya tak selalu gemilang. Saya terbiasa menyiapkan banyak hal untuk orang lain tampil, meski saya sendiri duduk di belakang panggung.
Karena saya percaya, setiap proses akan menemukan panggungnya sendiri. Dan mungkin… saya belum menang hari ini, tapi saya sedang tumbuh jadi pribadi yang tahan banting untuk menang di hari esok.
Dan dari situ saya belajar, bahwa jalur prestasi itu bukan hanya soal juara satu, tapi tentang mereka yang terus melangkah meski tak pernah naik podium. Tentang mereka yang kalah dengan kepala tegak, lalu bangkit lagi dengan hati lapang.
Jadi, buat siapa pun yang sedang berjuang, ingat:
Kemenangan itu bukan datang tiba-tiba. Ia datang pelan-pelan, saat kamu sudah siap menerimanya dengan penuh syukur.
Jangan remehkan langkah kecilmu. Bisa jadi, itu yang akan membuka pintu besar esok hari.

