Ternyata Santri juga Bisa Ber-MADILOG

Ternyata Santri juga Bisa Ber-MADILOG

Muhammad Khafid Zulfahmi Zein

Yang saya rasakan, akhir-akhir ini dunia FYP tiktok kebanjiran narasi tentang isu-isu sosial dan politik, tidak jarang dengan pendidikan juga, sebelum tertindih dengan berita demo di Jakarta tanggal 25 Agustus kemarin (entah hanya tiktokku apa sama juga dengan kalian hehehe). Ada satu nama yang ingin diangkat setelah terkubur lama, bahkan jika ditarik ke depan merupakan salah satu kesamaan dari gerakan bendera one piece.

Ia adalah Tan Malaka yang mungkin tidak terlalu akrab di telinga sebagian santri. Sosoknya sering digambarkan sebagai tokoh kiri, pejuang revolusioner, bahkan oleh sebagian orang dilekatkan dengan ide-ide yang dianggap bertentangan dengan agama. Namun belakangan, nama itu kembali ramai dibicarakan karena munculnya Projek Malaka yang digagas oleh Fery Irwandi. Tiba-tiba buku tebal berjudul Madilog akronim dari Materialisme, Dialektika, Logika, menjadi bahan diskusi lagi, bukan hanya di kalangan akademisi atau aktivis, tapi juga di warung kopi, media sosial, hingga forum-forum keagamaan.

Pertanyaannya, apakah santri juga boleh membaca atau bahkan mengamalkan pola berpikir Madilog? Bukankah itu produk pemikiran kiri? Apakah Madilog bertentangan dengan ajaran pesantren? Dan apakah salah jika santri mengkaji setiap informasi dengan Madilog?

Justru di sinilah letak kesalahpahaman yang sering terjadi. Madilog bukanlah kitab suci politik, bukan juga kitab fiqih untuk mengerjakan perintah agama, melainkan sebuah tawaran cara berpikir yang rasional, kritis, dan sistematis. Dan bukankah Islam sejak awal juga mengajarkan umatnya untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal sehat. Coba ingat kembali tentang peristiwa perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Rosululloh dengan Kaum Quroisy Mekah, perjanjian tersebut berisikan kesepakatan yang memberatkan Islam, namun ada satu hal yang justru membuat idiologi islam berkembang pesat. Yaitu berpikir kritis, sehingga bukankah seharusnya santri ber-madilog dalam setiap proses berpikirnya?

Sebelum lanjut membaca, saya ingin jujur bahwa esai ini tidaklah harus dipercaya kebenarannya, dan bahkan menjadi rujukan. Karena saya sendiri belum pernah membaca buku fisik dari MADILOG (emotikon tertawa malu). Penulis hanya ingin merelasikan antara pola pikir kritis dengan budaya berpikir santri yang saya kira ada kesamaan benang merah.

Dalam bukunya, Tan Malaka menyusun sebuah kerangka berpikir yang ia singkat sebagai Madilog:

  1. Materialisme: bahwa segala sesuatu di dunia memiliki basis material, nyata, dan bisa diteliti. Ia ingin melawan tahayul dan kepercayaan buta yang menghambat kemajuan.
  2. Dialektika: bahwa perubahan dalam masyarakat dan sejarah selalu lahir dari kontradiksi, pertentangan, dan proses dinamis. Tidak ada yang statis; semua berkembang.
  3. Logika: bahwa manusia harus menggunakan akal sehat, pola pikir runtut, dan rasional dalam mengambil keputusan maupun memahami realitas.

Sederhananya, Madilog adalah ajakan untuk berpikir kritis, ilmiah, dan teratur. Tan Malaka menulis itu pada tahun 1940-an, ketika bangsa Indonesia masih terjajah dan masyarakat masih diliputi tahayul serta feodalisme. Dia bergerak di berbagai organisasi dan memiliki keinginan sejak muda untuk mewujudkan keadilan bagi kaum buruh dan petani. Semangat ini yang membuat Tan Malaka berdiri kokoh bahkan ia juga yang pertama kali melahirkan istilah republik Indonesia walaupun harus berkali-kali menjadi buronan pemerintah.

Kalau kita tarik ke konteks pesantren, bukankah ajaran itu tidak sepenuhnya asing? Kitab-kitab ushul fiqh mengajarkan qiyas (analogi) sebagai metode berpikir logis. Ilmu kalam mengajarkan rasionalitas dalam memahami aqidah. Bahkan Imam Ghazali sekalipun, meski kritis terhadap filsafat, tetap menggunakan logika dalam membantah lawan-lawan intelektualnya. Jadi, semangat Madilog sejatinya bisa bertemu dengan tradisi intelektual Islam.

Seringkali orang mengira santri hanya sibuk menghafal kitab kuning, mengaji syarah, atau berlatih pidato. Padahal, proses belajar di pesantren sangat erat dengan logika dan dialektika. Coba perhatikan metode bahtsul masail, santri diajak membedah masalah kontemporer, mencari dalil, menimbang pendapat ulama, lalu menyimpulkan hukum. Itu bukan pekerjaan orang pasif, melainkan hasil dialektika pemikiran yang sangat hidup.

Lebih dari itu, pesantren juga melatih santri untuk tidak cepat puas dengan satu jawaban. Kitab kuning sering menyajikan perbedaan pendapat ulama. Santri dituntut untuk memahami konteks, menimbang dalil, bahkan kadang harus menerima kontradiksi 4 madzhab yang berbeda. Bukankah ini sama dengan prinsip dialektika Tan Malaka, bahwa perubahan dan pengetahuan lahir dari perbedaan dan pertentangan.

Selama ini Tan Malaka atau yang dikenal dengan nama lengkap Datuk Ibrahim Sutan Malaka adalah tokoh penggerak arus kiri (PKI), sehingga teori berpikir Madilog yang ia kemukakan juga sangat lekat dengan PKI. Padahal di sisi lain Tan Malaka adalah revolusioner yang membawa banyak perubahan bagi kemerdekaan Bangsa Indonesia, proses berpikirnya berakar pada positivistiknya Agus Comte, bapak sosiologi klasik yang juga pencetus nama sosiologi. Walaupun jiwa sosialisnya tumbuh dan berkembang selaras dengan pemahaman kuat marksisme.

Di sinilah poin pentingnya, berpikir positifistik tidak identik dengan ideologi tertentu. Positivstik itu menerima kebenaran setelah serangkaian kenyataan ilmiah, bukan tahayul semata. Santri yang belajar ilmu falak menggunakan hisab, santri yang meneliti fiqh lingkungan dengan data ilmiah, atau santri yang mengembangkan teknologi pesantren berbasis digital, semuanya juga sedang ber-Madilog. Mereka tidak sedang menjadi komunis atau sosialis, melainkan sedang menjalankan akal sehat.

Allah sendiri berfirman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).

Ayat ini menegaskan bahwa berpikir rasional dan mengamati realitas adalah perintah agama, bukan monopoli ideologi tertentu.

Islam tidak pernah anti terhadap akal. Bahkan Nabi Muhammad bersabda:

“Tidak sempurna agama seseorang hingga sempurna akalnya.” (HR. Abu Ya’la).

Hadis ini menegaskan posisi akal dalam beragama. Tanpa akal sehat, seseorang bisa tersesat dalam tahayul, bid’ah, atau bahkan ekstremisme.

Ketika santri menggunakan metode Madilog untuk mengurai masalah sosial, misalnya kemiskinan, pendidikan, atau lingkungan, itu sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Justru sejalan dengan prinsip ijtihad, yakni menggunakan seluruh kemampuan berpikir untuk menemukan solusi.

Hari ini mungkin santri dihadapkan tidak hanya terkait masalah fiqih, namun lebih luas lagi harus berenang di zaman digital yang serba modern. Sehingga seringkali permasalah agama justru berlatar belakang politik, sosial, budaya, dan lainnya. Di sinilah kiranya Madilog bisa bekerja dalam mengoptimalisasikan keilmuan santri.

Santri yang terbiasa berpikir kritis akan mampu memilah informasi di media sosial, tidak gampang termakan hoaks. Santri yang terbiasa berpikir logis akan lebih siap berkompetisi di dunia akademik maupun profesional. Dan santri yang terbiasa berpikir dialektis akan bisa berdialog dengan berbagai pihak tanpa kehilangan jati diri.

Kita sering mendengar slogan bahwa santri adalah mundzirul qoum pegawal umat. Untuk benar-benar mewujudkan itu, santri tidak cukup hanya taat ibadah, tapi juga harus unggul dalam ilmu dan cara berpikir. Madilog bisa menjadi jembatan agar santri tetap kritis tanpa kehilangan iman.

Bayangkan jika santri membaca fenomena sosial dengan kacamata Madilog:

  1. Materialisme, santri memeriksa kondisi nyata: data kemiskinan, kualitas pendidikan, akses kesehatan. Tidak berhenti pada nasib dan takdir, tapi mencari sebab-sebab konkrit.
  1. Dialektika, santri menyadari bahwa masyarakat berubah melalui konflik, kompromi, dan proses panjang. Maka, solusi tidak bisa instan, harus melalui tahapan dialog dan perbaikan.
  2. Logika, santri menyusun argumen dengan runtut, tidak emosional, dan berbasis ilmu.

Bukankah ini persis dengan ajaran Islam untuk menimbang segala sesuatu dengan adil dan bijak?

Tidak ada yang salah jika santri membaca Tan Malaka. Tidak ada yang haram jika santri belajar Madilog. Selama santri mampu memposisikan Madilog sebagai alat berpikir, bukan sebagai akidah, maka justru ia akan semakin memperkaya khazanah pesantren. Saya pernah mendapat nasehat oleh salah seorang dosen bahwa kita semua di hadapan Ilmu itu sama.

Maka, ketika ada yang berkata “Madilog hanya untuk kaum kiri,” jawab saja: “Tidak. Santri juga bisa ber-Madilog.” Karena sejatinya, berpikir kritis adalah bagian dari ibadah, dan santri adalah penjaga warisan intelektual Islam yang sejak awal menjunjung tinggi akal.

 

Leave a Reply