Pesantren, Revolusi Industri 5.0 dan Hilangnya Kemanusiaan: Tinjauan Sosiologi

Pesantren, Revolusi Industri 5.0 dan Hilangnya Kemanusiaan:

Tinjauan Sosiologi

Oleh Muhammad Khafid Zulfahmi Zein, S.Sos, M.Pd

Ketika kita bicara soal Indonesia hari ini, rasanya seperti membuka berita pagi yang isinya itu-itu saja: harga pupuk naik, pajak makin mencekik, konflik politik, kasus korupsi, skandal pejabat, hukum yang mudah dipermainkan dan drama media sosial. Sementara di luar sana, dunia terus melaju ke fase Revolusi Industri 5.0, di mana teknologi bukan hanya membantu pekerjaan manusia, tapi sudah masuk ke ranah menggantikan sebagian peran manusia. Robot, AI, big data, sampai algoritma media sosial kini punya pengaruh lebih besar daripada gosip tetangga sebelah.

Sayangnya, di balik segala kecanggihan itu, kita mulai kehilangan satu hal penting yaitu kemanusiaan. Fenomena ini sebenarnya sudah diprediksi jauh hari oleh Auguste Comte, bapak sosiologi dunia. Menurut Comte, revolusi industri dan politik pasti akan membawa perubahan besar dalam peradaban manusia, perubahan yang tak selalu indah. Ada konsekuensi sosial yang muncul, dan salah satunya adalah pergeseran nilai kemanusiaan. Di awal perkembangan revolusi industry dan politik di eropa pada abad 18, membawa perubahan besar bagi bangsa eropa, migrasi besar-besaran terjadi yang puncaknya adalah lahir para pemegang modal besar sebagai penguasa baru di masyarakat, dimana kekuasaan adalah bagi mereka yang memiliki modal serta kekuasaan politik. Lainnya hanyalah pelengkap dari roda ekonomi.

Coba kita berkata jujur hari ini, bahwa uang bukan sekadar alat tukar, tapi sudah jadi budak terbaik sekaligus raja terburuk. Uang membuat system kehidupan manusia berubah, dengan uang semua bisa diatur, status sosial, opini publik, bahkan nilai seseorang di mata masyarakat, tidak jarang banyak kasus yang hilang atau bahkan berubah keadaan dengan adanya uang. Dan yang paling menakutkan? Uang bisa mengubah karakter manusia dalam hitungan detik.

Al-Qur’an sudah mengingatkan akan bahaya cinta dunia dan harta yang berlebihan:

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling bermegah-megahan di antara kamu, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan…”
(QS. Al-Hadid: 20)

Di era politik transaksional dan industri yang serba cepat ini, kita melihat fenomena yang oleh sosiolog disebut komodifikasi manusia, artinya manusia bukan lagi dilihat sebagai makhluk dengan nilai luhur, tapi sebagai sumber daya yang diukur berdasarkan produktivitas dan keuntungan yang dihasilkan. Hubungan sosial pun jadi transaksional. Kita semakin jarang bertanya “Apa kabar?” dengan tulus, tapi lebih sering kita bertanya “Kamu bawa apa?” atau “Untungnya buat saya apa?”.

Akkhhhh, memang dunia sudah berubah, bahkan berubahnya terlalu cepat sampai-sampai setiap minggu pasti ada smartphone keluaran terbaru di pasaran. Apalagi suasana masa kecil kita, jauh berbeda dengan hari ini. Sering kita dengar keluhan senior kita, “Aku mbiyan luwih nemen ko awakmu, mbiyen luwih keras, saiki luwih penak, opo-opo dicepakne” di berbagai sektor. Dulu, di desa-desa, orang masih saling kenal. Pintu rumah jarang terkunci, anak-anak bebas main ke sawah tanpa takut. Sekarang? Bahkan di pelosok, orang mulai curiga kalau ada tamu tak dikenal. Wajah-wajah asing dianggap ancaman, bukan lagi peluang silaturahim.

Teknologi memang memudahkan komunikasi, tapi juga menciptakan jarak emosional. Kita lebih dekat dengan orang di layar ponsel ketimbang tetangga di sebelah rumah. Fenomena ini dalam sosiologi disebut disintegrasi sosial atau runtuhnya keterikatan sosial yang dulunya jadi perekat masyarakat.

Di tengah gejolak badai ini, ada satu institusi yang masih bertahan, bahkan dengan adat budaya yang tidak berubah sama sekali kecuali hanya fisiknya, dia adalah pesantren. Coba bayangkan, di saat luar sana orang sibuk memperbarui gawai dan akun media sosial, pesantren tetap setia dengan tradisinya. Santri bangun subuh bukan untuk scroll TikTok, tapi untuk shalat berjamaah. Mereka belajar bukan demi sekadar gelar, tapi demi keberkahan ilmu. Tidak ada yang adu gengsi motor dan baju, satu-satunya pembeda di antara mereka adalah kualitas keilmuan dan adab.

Hadis Nabi ﷺ mengingatkan pentingnya menuntut ilmu yang disertai adab:

“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Pesantren bukan sekadar tempat belajar mengaji. Ia adalah benteng moral, pusat pembentukan karakter, dan penopang peradaban. Di tengah Revolusi Industri 5.0 yang penuh godaan materialisme, pesantren adalah oase yang menyejukkan. Ada beberapa nilai luhur di pesantren yang tahan banting menghadapi perubahan zaman:

  1. Ta’dzim kepada ilmu. Sebuah adab yang mengajarkan bahwa ilmu tak akan bermanfaat tanpa hormat kepada yang mengajarkan, dan menghormati apapun yang menjadi wasilah daripada sampainya ilmu.
  1. Kebersamaan. Hidup di asrama membuat santri belajar berbagi, menahan ego, dan memahami orang lain. Kebersamaan ini juga membuat para santri menjadi lebih dewasa dan bisa mendewasakan diri untuk terjun di dalam masyarakat.
  2. Kesederhanaan. Di saat dunia luar terjebak dalam budaya konsumtif, santri terbiasa hidup sederhana tapi bermartabat. Walaupun sekarang banyak pesantren yang menawarkan kemegahan bangunan dan kemewahan fasilitas, tetapi minimal santri di dalamnya tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati.

Nilai-nilai ini menjadi kontra-budaya terhadap arus materialisme dan individualisme yang makin menguat di era Revolusi Industri 5.0. Dulu kaum santri sering mengalami culture-shock saat melihat kehidupan di luar sana, tetapi sekarang terbalik, kitalah yang terkadang sudah terbiasa dengan hal-hal subhat dan makruh bahkan haram, sehingga saat menilik budaya pesantren justru kita mengalami culture-shock.

Kalau kita mau jujur, krisis di Indonesia hari ini bukan cuma soal ekonomi atau politik, tapi krisis nilai dan moral. Kita kehilangan rasa malu, rasa hormat, dan rasa empati. Korupsi dianggap hal biasa. Gosip politik lebih ramai ketimbang diskusi pembangunan. Perdebatan di media sosial lebih penting daripada gotong-royong di dunia nyata.

Di sinilah pesantren masuk sebagai agen sosial yang menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut. Lewat pendidikan berbasis karakter, santri tidak hanya diajarkan ilmu agama, tapi juga dilatih menjadi manusia yang peka terhadap sesama.

 

Kalau kita tarik ke teori sosiologi, Auguste Comte membagi perkembangan masyarakat dalam tiga tahap:

  1. Tahap teologis. Masyarakat menjelaskan dunia berdasarkan kepercayaan dan agama.
  2. Tahap metafisis. Mulai menggunakan filsafat dan pemikiran abstrak.
  3. Tahap positif. Mengandalkan sains dan teknologi sebagai penjelasan utama.

Hari ini kita jelas berada di tahap positif. Sayangnya, tahap ini sering membuat manusia terlalu percaya pada teknologi dan data, sampai lupa pada nilai moral dan spiritual bahkan keblinger dengan hiruk pikuk dunia yang tidak berujung. Dan yahhhh, di sinilah pesantren punya peran vital, mengingatkan bahwa sehebat apapun teknologi, manusia tetap butuh landasan moral dan kemanusiaan. Di saat teknologi semakin baju dan kebenaran semakin abstrak, maka hanya aturan agama yang bisa memberikan kebenaran absolut.

Selain Comte, ada beberapa teori sosiologi lain yang cocok untuk membaca fenomena ini:

  1. Emile Durkheim. Dengan konsep anomie, Durkheim menjelaskan bahwa modernisasi yang cepat bisa membuat masyarakat kehilangan pedoman moral. Pesantren hadir untuk mencegah anomie itu dengan aturan dan nilai yang jelas.
  1. Karl Marx. Menyebut bahwa kapitalisme menjadikan manusia teralienasi dari dirinya sendiri. Pesantren memberi ruang bagi manusia untuk kembali pada identitas aslinya sebagai hamba Allah.
  2. Max Weber. Dengan konsep etika protestan, Weber melihat hubungan etika kerja dengan kemajuan ekonomi. Pesantren, dengan etika Islam-nya, dapat menjadi motor kemajuan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagian orang mungkin pasrah, menganggap hilangnya kemanusiaan adalah konsekuensi yang tak bisa dihindari dari kemajuan zaman. Tapi pesantren membuktikan sebaliknya. Selama masih ada lembaga yang mengajarkan bahwa ilmu harus dibarengi adab, bahwa hidup itu bukan sekadar tentang mencari untung, dan bahwa manusia dinilai dari akhlaknya, maka kemanusiaan akan selalu punya tempat untuk tumbuh.

Auguste Comte mungkin benar bahwa revolusi industri dan politik akan mengubah peradaban secara drastis. Tapi ia juga mengajarkan bahwa masyarakat bisa beradaptasi dengan menciptakan struktur sosial yang menjaga keteraturan dan harmoni. Dan di Indonesia, pesantren adalah salah satu struktur sosial itu.

Kalau kita ingin kemanusiaan tetap hidup di negeri ini, maka pesantren harus terus kita dukung, bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, tapi sebagai penjaga nurani bangsa.

Leave a Reply