“Kisah Si Sulung dan Jawaban Rindu di Balik Pondok Pesantren”
Dewi Rofiah
Wali dari Ibnu Labib Fawwaz Davinci (2B)
Hari ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Si Sulung, yang sedang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hikmah Tawangsari, Tulungagung, sedang berada di rumah. Seperti biasa, kami memanfaatkan waktu ini untuk family time, momen berharga yang selalu kami tunggu-tunggu.
Seperti biasa juga, si Sulung akan banyak bercerita tentang kehidupan di pondok—tentang kesehariannya, pengalaman barunya, teman-temannya, bahkan gurauan-gurauan khas yang hanya dimengerti oleh kami sekeluarga. Satu kalimat yang hampir selalu muncul dari mulutnya dan membuat kami tertawa adalah:
“Aku kan selalu bias.”
Bukan dalam arti sombong, tapi itulah cara khasnya menyampaikan cerita—lucu, santai, dan apa adanya.
Di tengah percakapan hangat itu, tiba-tiba ia bertanya dengan nada serius,
“Buk, kenapa aku harus mondok? Padahal kalau di rumah enak, aku bisa menemani Ibu dan adik, bisa punya lebih banyak teman di sekitar rumah. Kalau di pondok, temanku rumahnya jauh-jauh.”
Sebelum aku sempat menjawab, sang adik justru lebih dulu menimpali dengan polos namun menggelitik,
“Karena kalau kakak di rumah, Ibu pasti nggak bisa tenang.”
Seketika, tawa pun pecah di antara kami bertiga.
Setelah tawa reda, aku memeluk si Sulung dan menjelaskan dengan lembut,
“Nak, Ibu ingin kakak terjaga. Terjaga salatnya, terjaga ngajinya. Coba bayangkan, kalau kakak di rumah, setiap waktu salat pasti Ibu yang harus mengingatkan, begitu juga ngaji. Tapi kalau di pondok, semua itu menjadi kebiasaan, menjadi rutinitas. Kakak jadi terbiasa hidup disiplin dan mandiri. Sampai di sini, kakak paham?”
Ia mengangguk sambil tersenyum, lalu berkata,
“Apa yang Ibu bilang itu benar sekali, Buk. Tapi kadang… aku kangen, Buk. Kangen sama Ibu, sama adik.”
Aku membalas sambil tersenyum,
“Nggak apa-apa kangen, Nak. Kangen itu kalau cuma sedikit, ya nggak seru. Tapi kalau kangen banget, itu baru seru.”
Langsung saja adiknya menimpali,
“Dengerin itu, Kak!”
Kami pun tertawa lagi bersama.
Percakapan sederhana itu menyadarkanku bahwa apa yang kami jalani ini adalah bagian dari bentuk kasih sayang. Jika si Sulung tidak di pondok, mungkin aku akan lebih sering cerewet, lebih khawatir, dan sulit merasa tenang dibalik banyaknya kegiatan diluar yang harus saya lakukan. Bersyukur rasanya anakku di Pondok Pesantren Darul Hikmah, tempat ia belajar bukan hanya ilmu agama dan pengetahuan umum, tapi juga belajar hidup. Tempat yang menjadi rumah kedua, sekaligus penjaga terbaiknya.
