Tetap Cinta Tanah Air Meskipun Rodok Semrawut
Essay – Muhammad Khafid Zulfahmi Zein
Kadang, scroll berita di medsos itu bikin capek. Alih-alih mendapatkan informasi penting, kita malah pengin langsung menutup HP dan berpura-pura tidak tahu apa-apa atau lanjut scroll tiktok yang dipenuhi clippernya Fery Irwandi atau Timothy Ronald. Ya mau gimana, dari politik yang isinya saling serang, film animasi “merah putih one for all” yang aneh banget trailernya, drama hukum yang terasa seperti sinetron, sampai masalah sosial yang sepertinya tidak ada ujungnya. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang naik turun tanpa kepastian, jalanan macet yang bikin telat, dan cuaca yang kadang ikut-ikutan aneh.
Hahaha, negeri yang katanya merayakan 80 tahun kemerdekaannya, tapi media sosial malah dipenuhi dengan narasi negatif; mulai dari isu kemiskinan, kebijakan pemerintah yang dipertanyakan, kegagalan presiden, hingga viralnya bupati pati, dan bendera One Piece yang katanya bisa memecah belah bangsa. Kok bisa ya, negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tapi rakyatnya tidak bisa menikmati hasilnya? Dulu terkenal dengan slogan macan Asia saat masa-masa awal perkembangannya, namun sekarang belum ada kemajuan yang bisa bersaing dengan teknologi luar.
Tetapi menurutku Indonesia itu unik, di tengah semua “kekacauan” ini, kita masih merasa bangga saat menonton Timnas Indonesia main, sampai dibela-belain begadang semalaman, merinding mendengar lagu Indonesia Raya, atau rela pulang kampung hanya untuk nengok keadaan rumah. Indonesia ini memang rumit, tapi rasa sayang itu tetap ada dan tidak bisa hilang. Seperti rumah tua yang kadang bocor, catnya mengelupas, tapi kita tetap enggan untuk pindah. Jangankan pindah, untuk merenovasi saja kadang masih berdebat dengan sanak keluarga tentang kenangan yang ada di rumah itu. Ya begitulah Indonesia dengan segala warisan budayanya, budaya baik dan semua budaya uniknya.
Fenomena politik kita kadang bikin geleng kepala; politisi yang lupa janji, perdebatan yang lebih sibuk saling menjatuhkan daripada mencari solusi, atau kebijakan yang terasa jauh dari kepentingan rakyat kecil. Dalam hukum, kita juga merasa ada ketimpangan, antara orang kecil sering kali terpinggirkan dan orang kaya yang bisa menikmati secuil surga di negeri seribu pulau ini. Kalau boleh jujur, rasa frustasi itu wajar. Tapi frustasi bukan alasan untuk menyerah. Kalau ada orang bilang, “Udah, nggak usah peduli, toh nggak akan berubah,” itu sama seperti bilang, “Rumah bocor ya biarin aja sampai roboh.” Logikanya nggak masuk. Justru karena bocor, harus kita tambal kan?.
Banyak yang salah paham, seolah mencintai tanah air itu artinya membenarkan semua yang ada. Padahal, cinta yang sejati itu mau mengkritik demi kebaikan. Sama seperti kita mengingatkan sahabat yang salah jalan, bukan karena benci, tapi karena peduli.
Jadi, kalau kita mengkritik korupsi, ketidakadilan, atau kebijakan yang merugikan rakyat, itu justru karena kita peduli. Mengkritik dengan cara yang santun adalah bentuk cinta tanah air yang dewasa. Dan diam atas semua kerusakan adalah salah satu tanda iman yang paling lemah, (agak mengaitkan agama dikit hehe)
Dalam kacamata sosiologi, ini disebut patriotisme kritis. Yaitu sikap mencintai negara sambil tetap menuntut perbaikan. Patriotisme model ini menghindarkan kita dari dua ekstrem; terlalu apatis hingga tidak peduli, atau terlalu fanatik hingga menutup mata pada masalah.
Bung Karno pernah berkata:
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Kalimat ini terasa pahit, tapi tepat. Dulu musuhnya jelas; penjajah asing. Sekarang musuhnya lebih rumit; korupsi, keserakahan, perpecahan, dan sikap masa bodoh atau memang benar-benar bodoh.
Para pendiri bangsa tahu bahwa membangun negeri itu proses panjang. Dan proses itu butuh orang-orang yang mau bertahan walau keadaan “semrawut”. Kalau mereka dulu bisa mencintai tanah air di tengah keterbatasan, masa kita yang hidup di zaman serba mudah ini malah nyerah hanya karena lihat berita yang bikin jengkel?.
Aku menyebut ini dengan kehidupan yang penuh dengan polarisasi, dimana semua materi pelajaran yang pernah kita hafalkan sejak SD banyak yang bertentangan dengan fenomena yang ada, entah materi sejarah, PKN, IPS, Geografi, dan ilmu sosial lainnya. Dimana hal-hal benar (bukan tentang agama) yang kita percaya bisa jadi besok sudah berubah. Dalam teori sosiologi, kondisi seperti ini bisa memicu disintegrasi sosial, yaitu retaknya rasa persatuan. Nah, di sinilah cinta tanah air diuji. Apakah kita akan ikut-ikutan terpecah, atau justru jadi perekat di tengah perbedaan?.
Banyak yang merasa, “Ah, aku cuma orang biasa, nggak bisa ngapa-ngapain buat negara.” Padahal, negara ini dibangun dari hal-hal kecil yang dilakukan banyak orang biasa.
- Guru yang mengajar dengan ikhlas.
- Petani yang menanam dengan jujur.
- Pedagang yang tidak menipu timbangan.
- Pemuda yang menjaga kebersihan lingkungan.
- Santri yang serius menekuni dan mengamalkan Ilmunya.
- Ibu yang benar mendidik anaknya dan tidak sekedar menitipkannya pada HP.
- Atau para bos yang ngopeni bawahannya dengan baik.
Semua itu memang tidak masuk berita utama, tapi tanpa mereka, Indonesia tidak akan berjalan. Dalam konsep sosiologi, ini disebut modal sosial; jaringan nilai, norma, dan kepercayaan yang membuat masyarakat bisa bertahan.
Walaupun kadang kita pesimis, kenyataannya selalu ada harapan. Kita lihat saja, setiap kali bencana melanda, rakyat Indonesia selalu bergotong royong membantu. Saat pandemi, banyak yang saling kirim makanan dan masker tanpa memandang suku atau agama. Di saat genting, rasa persatuan itu muncul.
Itu bukti bahwa fondasi cinta tanah air masih ada. Tugas kita adalah menjaga api itu supaya tidak padam, meski badai masalah terus datang. Negeri ini memang tidak sempurna. Banyak PR yang belum selesai. Tapi bukankah keluarga juga begitu? Kita tidak meninggalkan keluarga hanya karena kadang mereka bikin kesal. Kita tetap pulang ke rumah walau pintunya berderit dan atapnya bocor.
Indonesia adalah rumah kita. Suka tidak suka, kitalah yang harus merapikannya. Jangan cuma nyinyir dari pinggir lapangan. Memang terasa berat dan kadang di luar jangkauan kalau membayangkan diri kita bisa merubah negara ini. Namun sebagai generasi penerus dan pewaris bangsa, apa salahnya bila kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar kelak jika di antara kita ada yang menggantikan tokoh-tokoh nasional untuk duduk sebagai pemangku kebijakan, kita siap membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Tapi negara ini akan tetap seperti ini, jika sekarang pemudanya enggan belajar, suka dengan sesuatu yang instan, sudah lupa dengan budaya saling menghargai, dan bertuhan pada FYP media sosial sebagai penuntun kebenaran.
