Mengapa Harus Ada Acara Arena Gembira di Darul Hikmah?

Mengapa Harus Ada Acara Arena Gembira di Darul Hikmah?

Oleh Muhammad Khafid Zulfahmi Zein, S.Sos

Setiap tahun Pondok Modern Darul Hikmah Kampus 1, 2 dan 3 memilki rutinan pentas seni yang bernama Arena Gembira. Ratusan santri menampilkan hiburan dan ribuan penonton memadati kursi yang tersusun rapi, menunggu wajah anak mereka tampil di atas panggung. Musik pembuka mengalun, sorak gembira menyambut penampilan pertama, dan senyum lebar menghiasi wajah para penonton. Dari kejauhan, acara ini mungkin tampak seperti sekadar pentas seni—hiburan tahunan yang mewah, meriah, dan penuh tawa. Namun, di balik sorotan lampu dan tata panggung yang megah itu, ada perjalanan panjang penuh peluh, tawa, bahkan air mata yang dilalui para santri.

Beberapa orang mungkin mengernyitkan dahi ketika mendengar kabar bahwa biaya penyelenggaraan Arena Gembira (AG) setiap tahun mencapai ratusan juta rupiah. “Untuk apa menghabiskan uang sebanyak itu hanya demi acara satu malam?” begitu kira-kira komentar yang beredar. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk pembangunan fisik pondok. Tak sedikit pula yang merasa keberatan dengan cara santri mencari dana, yaitu dengan mengajukan proposal door to door, yang oleh sebagian orang disamakan dengan mengemis. Sehingga tidak sedikit dari wali santri bahkan juga beberapa masyarakat umum yang mengusulkan agar acara Arena Gembira ini tidak diadakan lagi, demi pembangunan pondok, demi kesehatan mental para santri, dan agar santri fokus belajar tidak mencari uang. (katanya).

Tetapi pandangan seperti itu hanya melihat permukaan. Arena Gembira bukan sekadar “acara hiburan” yang habis dalam satu malam, apalagi acara yang mubadzir begitu saja. Ia adalah bagian dari kurikulum kehidupan yang harus dilalui santri  di Pondok Modern Darul Hikmah. Walaupun Pondok Modern Darul Hikmah berdiri dengan membawa atmosfer Pondok Modern Darussalam Gontor, salah satu pesantren terbesar dan tertua di Indonesia dengan system KMI-nya, namun Darul Hikmah memiliki corak dan kultur yang berbeda. Darul Hikmah bergerak membawa kurikulum dari kemenag berupa MTs, MA, Madin, dan Perguruan Tinggi STAI.

Untuk menyambut kedatangan santri baru, Darul Hikmah mengadakan Khutbatul Arsy yang puncaknya adalah Arena Gembira, sebuah laboratorium pendidikan pengasah keterampilan yang tak pernah bisa sepenuhnya diajarkan di ruang kelas. Dana yang terkumpul, meskipun besar, sejatinya adalah proses pendidikan ekonomi selama berbulan-bulan yang berpuncak di malam AG. Sama seperti biaya study tour di sekolah umum atau dana untuk perlombaan besar, nilainya memang terlihat besar, acaranya bisa dikatakan hanya seperti itu saja, jurinya juga sudah kenal, atau tempatnya tidak sesuai espektasi peserta, tetapi yang dibeli bukan sekadar acara, melainkan pengalaman dan pelajaran hidup.

Proses itu dimulai jauh sebelum panggung didirikan. Santri kelas 5 KMI, yang setara dengan kelas dua SMA, duduk bersama dalam musyawarah panjang untuk membentuk panitia sejak mereka duduk di kelas 4 KMI. Mereka menentukan ketua, sekretaris, bendahara, hingga seksi-seksi yang akan mengurus segala detail: dari konsep acara, desain panggung, kostum, tata rias, peralatan suara, hingga keamanan. Semua keputusan, termasuk anggaran, dibahas bersama. Tidak ada paksaan nominal dari pihak pondok dan semua mengalir dari kesepakatan santri sendiri di bawah bimbingan para musyrif dan pimpinan pondok.

Salah satu tantangan terbesar adalah mengelola keuangan. Santri harus membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang realistis, lalu mencari cara untuk memenuhinya. Di sinilah pendidikan tanggungjawab dimulai, apa yang mereka sepakati, apa yang mereka rencanakan, dan apa yang sudah mereka mulai harus dilalui dan diselesaikan. Muncul pembelajaran yang tak ternilai: bagaimana mengajukan proposal, melakukan negosiasi, menjaga etika ketika bertemu calon donatur, dan mempresentasikan program dengan meyakinkan. Mereka belajar bahwa mencari dana bukanlah meminta-minta, melainkan menawarkan kerjasama untuk menyukseskan sebuah misi pendidikan. Bedanya sangat jelas: pengemis datang tanpa menawarkan apa pun selain harapan belas kasihan, sementara santri datang dengan rencana matang, program jelas, dan janji pertanggungjawaban dengan bukti nyata terselenggaranya Arena Gembira.

Mengetuk pintu rumah masyarakat, berdiri di hadapan tokoh, atau berbicara dengan pemilik usaha bukan perkara mudah bagi anak remaja. Awalnya banyak yang gugup, kaku, bahkan salah ucap. Tapi dari situlah mental mereka ditempa. Mereka belajar bahwa di luar sana ada berbagai macam karakter manusia: yang ramah, yang dingin, yang dermawan, yang kritis, bahkan yang sinis. Mereka belajar menyesuaikan diri, menjaga sopan santun, dan tetap rendah hati di hadapan siapa pun. Pelajaran ini akan menjadi bekal berharga ketika kelak mereka terjun langsung di tengah masyarakat.

Di sisi lain, proses kreatif juga berjalan. Santri yang punya bakat seni terlibat dalam pembuatan dekorasi dan properti panggung. Mereka yang pandai menulis menggarap naskah drama atau sketsa. Yang jago musik mengaransemen lagu. Yang suka atraksi bisa tampil dalam acara silat,  sementara yang luwes bicara berlatih menjadi pembawa acara. Semua potensi ini sering kali tidak mendapat panggung di kelas, tetapi di AG, mereka menemukan wadahnya. Kreativitas mekar, ide-ide liar dijinakkan menjadi karya nyata, dan rasa percaya diri tumbuh.

Selama berbulan-bulan persiapan, para santri belajar bekerja dalam tim. Perbedaan pendapat tak terelakkan, tetapi dari perbedaan itu lahirlah keterampilan bernegosiasi, mengalah, dan mencari titik temu. Ada rasa lelah yang terbayar dengan tawa ketika suatu bagian rampung. Ada pula kegagalan yang harus dihadapi bersama, seperti kostum yang tidak jadi tepat waktu atau alat yang rusak. Semua itu melatih mereka untuk tetap tenang di bawah tekanan, bahkan jika dalm pelaksanaan kepanitiaan ada yang menyalahi aturan pondok, maka para santri juga tetap menerima sanksi sebagaimana mestinya, karena hakikatnya acara dan organisasi apapun tetap di bawah nauangan pondok, kemampuan dan kesadaran ini yang akan sangat berguna di kehidupan nyata.

Yang sering luput dari perhatian adalah peran para musyrif dan pimpinan pondok. Mereka tidak sekadar mengawasi dari jauh, melainkan menjadi mentor yang membimbing agar semua berjalan sesuai nilai dan tujuan pendidikan pesantren. Mereka memastikan dana digunakan tepat sasaran, acara tetap dalam koridor syariat, dan santri belajar dari setiap proses, bukan sekadar mengejar kemegahan panggung.

Arena Gembira sendiri bukanlah acara yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari rangkaian besar Khutbatul Arsy atau pekan perkenalan dalam penyambutan santri baru yang menjadi tradisi pondok modern. Setelah berbagai kegiatan pengenalan, seminar, dan lomba internal, AG menjadi penutup yang manis, menampilkan wajah ceria pondok kepada santri baru dan masyarakat. Bagi santri baru, melihat kakak kelas mereka tampil dengan percaya diri di atas panggung adalah inspirasi. Mereka menyadari bahwa di pondok ini, setiap santri diberi kesempatan untuk berkembang bukan hanya secara akademis, tetapi juga dalam keterampilan hidup.

Bagi wali santri, Arena Gembira adalah jendela untuk melihat hasil pendidikan pondok dari sisi yang jarang tampak. Anak-anak mereka tidak hanya belajar menghafal kitab dan memahami pelajaran agama, tetapi juga terampil berbicara di depan umum, memimpin sebuah tim, mengelola keuangan, dan menghargai kerja keras orang lain. Nilai-nilai ini jauh lebih mahal daripada biaya yang terlihat di buku laporan keuangan acara.

Maka, jika ada yang bertanya mengapa pondok rela “mengizinkan” santrinya mengeluarkan energi dan dana begitu besar untuk satu malam, jawabannya sederhana: karena malam itu hanyalah puncak gunung es. Yang lebih penting adalah proses panjang yang membentuk pribadi santri menjadi matang, mandiri, dan siap menghadapi kehidupan. Biaya ratusan juta itu bukan untuk membayar lampu panggung atau kostum mewah, tetapi untuk membiayai perjalanan belajar yang membentuk karakter sebagai sesuatu yang tak ternilai dengan uang.

Pada akhirnya, Arena Gembira bukan milik santri kelas 5 KMI saja. Ia adalah kebanggaan seluruh warga pondok, simbol kerja sama, kreativitas, dan semangat yang menyala. Dan bagi para santri yang terlibat, kenangan itu akan mereka bawa seumur hidup, bersama pelajaran bahwa hidup pun ibarat panggung: kita harus berani tampil, bekerja sama, menghargai waktu, dan melakukan yang terbaik dalam peran kita.

“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu” sebenarnya berasal dari pepatah Arab, lebih tepatnya bersumber dari ucapan seorang ulama besar al-Hasan al-Basri, al-tabi’i al-jalil:

الحفظ — وفي رواية: العلم — في الصغر كالنقش في الحجر ( رواه الخطيب البغدادي في الفقيه والمتفقه : ٩١/٢ )
“Hapalan–dalam satu riwayat: ilmu–[yang diajarkan] saat usia dini itu bagaikan mengukir di atas batu.”  Ucapan tersebut diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih, jilid 2 halaman 91.[1]

Mungkin, setelah memahami ini, kita akan melihat bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan untuk Arena Gembira adalah investasi yang kembali dalam bentuk manusia-manusia yang lebih percaya diri, berdaya, dan siap menjadi pemimpin masa depan. bekasnya akan tetap melekat. Arena Gembira adalah salah satu ukiran itu, yang akan tetap tertanam dalam hati para santri, jauh setelah sorotan lampu padam dan tirai panggung tertutup.

 

[1] Diunduh dari website nu online pada Jumat, 8 Agustus 2025 pada link: https://jabar.nu.or.id/opini/asal-mula-peribahasa-belajar-di-waktu-kecil-bagai-mengukir-di-atas-batu-ja2P4

Leave a Reply