Feodalisme dan Barokatologi di Pesantren
Oleh Muhammad Khafid Zulfahmi Zein
Belakangan ini, tak jarang muncul tudingan dari sebagian masyarakat, terutama yang belum pernah mondok. Bahwa relasi antara santri dan kyai di pesantren identik dengan feodalisme. Kyai dianggap “raja kecil” yang tak boleh disalahkan, sementara santri dicitrakan sebagai pengikut yang tunduk tanpa nalar. Anggapan ini muncul karena mereka melihat bentuk-bentuk penghormatan santri kepada kyai yang sangat tinggi, seperti; mencium tangan, menunduk saat lewat, atau bahkan tidak berani duduk sejajar.
Namun, benarkah hal tersebut pantas disebut sebagai feodalisme? Ataukah kita sedang keliru membaca budaya pesantren yang sarat nilai spiritual dan adab?. Artikel ini merupakan refleksi pribadi penulis dari beberapa vidio yang muncul di beberapa laman media sosial akhir-akhir ini.
Secara sosiologis, feodalisme adalah sistem kekuasaan yang menempatkan satu kelas sosial di atas kelas lainnya, di mana kaum elit mengontrol tanah, kekayaan, dan keputusan, sementara rakyat kecil menjadi pengikut tanpa kuasa. Dalam sistem ini, terjadi relasi dominasi dan subordinasi yang bersifat struktural dan memaksa.
Kita bisa melihat praktik-praktik feodalisme masa lalu pada saat penjajahan belanda di tanah nusantara. Bagaimana kemudian para pribumi tidak memiliki hak untuk membela bahkan meminta haknya pribadi. Seluruh kekuatan adalah milik mereka yang berkuasa, mereka yang memilki modal besar dan tentu mereka yang dekat dengan para pejabat. Dan kaum awam hanya punya 1 tugas, yakni patuh.
Jika kita menggunakan definisi ini, maka jelas pesantren tidak layak dikategorikan feodal. Tidak ada pemaksaan sistemik, tidak ada relasi tuan-hamba. Yang ada adalah budaya adab, penghormatan, dan yang lebih unik lagi: keyakinan akan barokah. Walaupun saya secara pribadi juga kurang sepakat jika ada model penghormatan kepada guru yang melampaui batas akal sehat manusia. Justru jika berbicara adab, maka seharusnya dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang baik. Ilmu dan adab akan berjalan beriringan sehingga muncul sebagai perangai yang bisa memposisikan diri dengan tepat.
Di pesantren, ada satu istilah yang tidak akan ditemukan dalam buku teks manapun, tapi sangat akrab di hati para santri, yaitu barokah. Istilah ini lahir dari keyakinan bahwa keberhasilan hidup bukan hanya soal logika dan kerja keras, tetapi juga tentang keberkahan dari orang-orang saleh, terutama dari guru (kyai) yang menjadi perantara ilmu. Do’a, ridho dan keikhlasan para guru khususnya Kyai di pesantren sering menjadi rujukan dari wasilah turunnya berkah, sedangkan keberkahan itu sendiri adalah hal yang hanya Allah SWT sebagai pemberinya.
Inilah yang disebut para santri secara jenaka (tapi serius) sebagai barokatologi. Yakni ilmu tentang bagaimana mencari dan menjaga keberkahan dalam hidup. Melalui keta’dziman dan hormat kepada ilmu dan wasilah ilmu itu sendiri.
Santri meyakini bahwa keberkahan ilmu datang lewat adab, bukan semata lewat kecerdasan. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau belajar ilmu.” Dan itulah yang dipegang oleh santri, selain karena perintah agama untuk menghormati ilmu beserta perantaranya. Kondisi psikologis manusia akan secara naluriah untuk patuh kepada siapapun yang bisa memenuhi kebutuhannya dan memberikan solusi dari setiap problematikanya, di pesantren ini lah kita menyebutnya dengan Kyai.
Sosok yang dianggap sebagai sumber daripada ilmu dan pemahaman atas berbagai referensi agama yang sedang dikejar para santri di pesantren. Budaya alamiyah ini penulis kira juga sering terjadi di masyarakat luas. Dimana ketika ada orang yang memiliki kelebihan suatu hal dan dia bisa membantu kita, atau kita mengharap sesuatu kepadanya, maka kita akan cenderung mengikuti perintahnya. Hal ini berbeda dengan budaya santri, memang dalam keseharian mereka adab harus didahulukan, tapi di hadapan ilmu semua akan menjadi sama. Seperti pemandangan saat bahtsu masail, semua peserta berhak berargumen dan memegang kuat argumennya yang bedasarkan ilmu. Namun setelah selesai acara, tetap menghormati para guru sebagaimana mestinya.
Ketika santri mencium tangan kyainya, duduk di lantai saat kyai berbicara, atau menunduk saat lewat di hadapan beliau, itu bukan bentuk tunduk buta, melainkan penghormatan yang berakar dari spiritualitas dan tradisi keilmuan.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR. Ahmad)
Santri tidak sedang menyembah kyainya. Mereka sedang belajar bagaimana menghormati sumber ilmu. Seorang kyai di pesantren bukan hanya pengajar. Ia juga pembimbing spiritual, pendidik moral, penanggung jawab kehidupan santri. Bahkan dalam banyak kasus, ayah kedua bagi mereka. Kyai bukan sekadar “mengajar di kelas”, tapi juga mengasuh, mendoakan, dan kadang membiayai santrinya. Inilah yang membuat rasa hormat santri kepada kyai sangat dalam.
Penghormatan ini bukan kultus individu, tapi ekspresi dari ajaran Islam itu sendiri yang mengajarkan:
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Salah satu penyebab kesalahpahaman ini adalah karena budaya pesantren tidak sepenuhnya dapat dipahami dengan kacamata modern-sekuler. Di luar pesantren, relasi antara guru dan murid bersifat transaksional: guru mengajar, murid membayar. Tapi di pesantren, relasi ini bersifat transenden dan ruhani.
Masyarakat modern yang terbiasa dengan sistem egaliter kadang kesulitan memahami mengapa ada santri yang rela bersih-bersih kamar kyai, atau bahkan menimba air untuk beliau. Padahal, bagi santri, itu semua adalah bagian dari proses pendidikan jiwa atau riyadhah, bukan perbudakan.
Hubungan antara kyai dan santri tidak dibangun di atas struktur kekuasaan, tetapi atas dasar kepercayaan dan cinta. Kyai tidak pernah memaksa santri untuk menghormatinya. Justru, santri dengan sendirinya belajar untuk menghormati karena melihat keteladanan, kesalehan, dan keikhlasan kyainya.
Jika feodalisme tumbuh dari struktur sosial yang dibentuk dengan sengaja bahkan penuh paksanaan. Barokah diyakini tumbuh dari ketulusan dalam belajar dan pengabdian, bukan dari formalitas dan aturan. Inilah yang membedakan keta’dziman dari feodalisme.
Adalah tugas kita semua, terutama para wali santri dan masyarakat umum, untuk melihat pesantren dengan kacamata yang adil dan jernih. Budaya ta’dzim bukan bentuk penindasan, melainkan warisan adab Islam yang luhur, yang hari ini mulai langka di masyarakat.
Jika hari ini kita merasa sulit menemukan anak muda yang sopan, sabar, dan tahu batas, mungkin karena kita sudah terlalu lama melepas adab dari pendidikan kita. Pesantren masih mempertahankannya dan itu layak kita syukuri, bukan curigai.
Jika kita membuka mata dan melihat lebih dalam, sebenarnya pesantren menyimpan banyak kelebihan yang jarang dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Di balik kesan sederhana dan gaya hidup yang bersahaja, pesantren justru menawarkan pendidikan yang utuh dan menyeluruh.
Pertama, pesantren adalah tempat latihan hidup. Santri tidak hanya belajar menghafal kitab, tapi juga belajar mencuci bajunya sendiri, antre, membersihkan lingkungan, dan bahkan memimpin tadarus bersama. Pesantren mencetak manusia yang mandiri, tidak manja, dan tahu bagaimana beradaptasi dengan kesederhanaan.
Kedua, pesantren adalah sekolah karakter. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kesabaran, serta ta’dzim terhadap guru bukan sekadar teori, tapi dihidupkan dalam keseharian. Di pesantren, kamu tidak hanya diajari apa yang benar, tapi juga dibiasakan berbuat benar.
Ketiga, pesantren melatih mental tahan banting. Hidup di kamar bersama belasan bahkan puluhan orang, makan bersama dengan menu yang seragam, bangun jam 4 pagi, lalu menjalani aktivitas hingga malam hari. Semua itu membentuk santri menjadi pribadi yang kuat, tidak cengeng, dan siap menghadapi tantangan dunia nyata.
Keempat, pesantren membangun relasi spiritual. Santri tidak hanya didorong untuk pintar, tapi juga dekat dengan Allah. Zikir, tahajud, shalawat, wirid, semua menjadi bagian dari rutinitas harian. Inilah yang membuat banyak alumni pesantren tetap tenang dan berkarakter kuat di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan.
Kelima, komunitas pesantren adalah komunitas perjuangan. Mereka diajari untuk hidup dalam kebersamaan, saling tolong, dan punya idealisme tinggi. Tak sedikit dari alumni pesantren yang menjadi pemimpin masyarakat, guru, penulis, bahkan aktivis perubahan sosial yang berintegritas tinggi.
Tulisan ini adalah refleksi semata dari isu-isu pesantren hari ini, sehingga masih sangat layak jika harus didiskusikan lebih lanjut atau menjadi pembahasan yang lebih kompleks dengan berbagai sudut pemikiran dan kajian teori.
Referensi:
- Syamsul Arifin, Kepemimpinan Profetik: Konsep dan Implementasi dalam Kepemimpinan Pendidikan Islam, Malang: UIN-Maliki Press, 2013.
- Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985.
- Al-Qur’an
- HR. Ahmad, Hadis tentang penghormatan kepada ulama
- K.H. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim
