Menemukan Warna Baru Di Jalan yang Tak Terduga
Karya Dewi Rofiah
Wali dari Ibnu Labib Fawwaz Davinci
Kelas VII B
Setiap anak terlahir dengan bakat dan potensi yang unik. Ada yang menonjol di bidang akademik, ada yang cemerlang di olahraga, dan ada pula yang mampu mengekspresikan diri lewat seni. Seorang anak yang aktif dalam berbagai kegiatan dan memiliki hobi melukis, awalnya tumbuh dengan dunia yang penuh warna dan imajinasi. Baginya, melukis bukan sekadar kegiatan, tetapi cara untuk berbicara dengan warna, garis, dan ruang.
Namun hidup tak hanya tentang melakukan apa yang kita sukai. Terkadang, ada pilihan yang mengajak seseorang melangkah ke arah yang berbeda. Pilihan itu muncul saat keinginan untuk belajar di pondok pesantren tumbuh dalam dirinya. Awalnya bukan karena paksaan, tapi dari dorongan untuk mencari ilmu yang lebih dalam, memperkuat keimanan, dan membentuk karakter.
Meski keinginan itu datang dari dirinya sendiri, tetap saja ada keraguan. Ia membayangkan kehidupan pondok yang serba teratur, minim waktu luang, dan mungkin tanpa ruang untuk seni. Ketakutan akan kehilangan kesempatan menyalurkan hobi dan kebebasan berekspresi sempat menghambat langkahnya. Bagaimana jika ia tidak bisa lagi melukis? Bagaimana jika semua yang ia cintai selama ini harus ditinggalkan?
Sebagai orang tua, kami memahami kegelisahannya. Namun, kami tahu bahwa dalam setiap proses belajar dan tumbuh, pasti akan ada masa-masa berat. Maka kami hadir bukan untuk menyuruh atau menuntut, melainkan untuk menguatkan. Kami sampaikan dengan lembut,
“Nak, kalau kamu ingin menempuh jalan ini, lakukanlah dengan sepenuh hati. Jangan setengah hati. Karena kalau setengah hati, manfaat yang kamu dapat pun tidak akan pernah utuh. Tapi kalau kamu ikhlas dan sungguh-sungguh, maka akan banyak kebaikan yang datang, meski awalnya terasa sulit.”
Dengan dukungan dan motivasi itu, akhirnya ia memantapkan diri untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hikmah Tulungagung. Awal masa tinggal di pondok memang tidak mudah. Jadwal padat, suasana baru, dan rutinitas yang berbeda membuatnya harus beradaptasi dari nol. Keluh kesah pun sesekali datang tentang rindu rumah, sulitnya waktu, dan rasa canggung di lingkungan baru, bahkan cerita tak terduga dari temannya bahwa si anak sering meneteskan air mata ketika sholat dan menjelang tidur.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Ia mulai menemukan ritme. Ia belajar bahwa kehidupan di pondok bukanlah batasan, melainkan jalan untuk tumbuh lebih utuh. Ia menemukan kedamaian dalam rutinitas ibadah, kekuatan dalam kebersamaan, dan makna dalam kesederhanaan.
Yang paling membahagiakan, pondok ternyata bukan tempat yang menutup kreativitas. Justru sebaliknya, Darul Hikmah Tulungagung membuka ruang bagi santri untuk tetap mengembangkan bakat. Ia kembali bisa melukis, bisa aktif dalam kegiatan Pramuka, Olahraga dan banyak hal yang bisa dilakukan dengan bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minatnya.
Harapan kami selain bisa menuangkan imaginasinya dalam lukisan anak kami juga santri yang tangguh, berakhlak, dan aktif dalam kegiatan positif. Ia menjalani hidup dengan seimbang antara iman dan kreativitas, antara ilmu dan ekspresi diri. Semua itu tak akan terjadi tanpa ketulusan untuk menjalani proses dengan sepenuh hati.
Dari perjalanan ini, kami sebagai orang tua belajar satu hal penting: tugas kami bukan hanya menyediakan jalan, tetapi juga menyemangati agar anak berani melangkah. Dan ketika ia berani melangkah dengan sepenuh hati, hasilnya akan lebih dari yang kami bayangkan.


